Skip to main content

EKONOMI ISLAM TEORI KONSUMSI PERSPEKTIF ISLAM (MANAGEMENT ,MARKETING)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Dalam teori ekonomi, sebuah perekonomian akan berjalan jika unsur-unsur dalam ekonomi berjalan dan saling memanfaatkan satu sama lain sebab pada prinsipnya manusia adalah makhluk social yang saling ketergantungan antar sesama. Adanya produsen dikarenakan adanya konsumen. Begitu pula adanya sesuatu yang dihasilkan  karena adanya permintaan dari masyarakat yang memerlukan, sebab konsumen adalah setiap pemakai atau pengguna barang atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri dan atau kepentingan orang lain. Namun secara sederhana dapat diartikan sebagai pengguna barang dan atau jasa, Masing-masing konsumen merupakan pribadi unik dimana antara konsumen yang satu dengan yang lain memiliki kebutuhan yang berbeda juga perilaku yang berbeda dalam memenuhi kebutuhannya. Namun, dari perbedaan-perbedaan yang unik tersebut ada satu persamaan yakni setiap saat konsumen akan berusaha untuk memaksimalkan kepuasannya pada saat mengkonsumsi suatu barang ataupun jasa. Tingkat kepuasan yang diperoleh konsumen dalam mengkonsumsi barang disebut dengan utilitas.
Sebagai seorang muslim, konsumsi tidak hanya semata-mata untuk mendapakan kepuasan. Namun ada hal-hal lain yang seharusnya dicapai dalam kegiatan konsumsi. Tujuan utama konsumsi seorang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsusmsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan stamina dalam ketaatan pengamdian kepada Allah akan menjadikan konsusmsi itu bemilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala. Al-Quran dan hadits memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat jelas tentang konsumsi, supaya perilaku konsumsi manusia menjadi terarah dan agar manusia dijauhkan dari sifat yang hina karena perilaku konsumsinya. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan Allah dan RasulNya akan menjamin kehiduan manusia yang adil dan sejahtera deunia dan akhirat (falah). Penjelasan lebih mendalam terkait konsumsi akan dibahas pada makalah kali ini.




1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, dapat kita dapatkan beberapa rumusan masalah, yaitu:
1.      Bagaimana teori konsumsi menurut sudut pandang konvensional?
2.      Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi?
3.      Bagaimana teori konsumsi menurut sudut pandang Islam?
4.      Bagaimana etika konsumsi dalam Ekonomi Islam?
5.      Bagaimana perilaku konsumen dalam Ekonomi Islam?
6.      Bagaimana prinsip dasar perilaku konsumen dalam Islam?
7.      Bagaimana batasan konsumsi dalam syariah Islam?
1.3  Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas, dapat kita dapatkan beberapa tujuan, yaitu:
1.      Untuk mengetahui bagaimana teori konsumsi menurut sudut pandang konvensional
2.      Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi
3.      Untuk mengetahui bagaimana teori konsumsi menurut sudut pandang Islam
4.      Untuk mengetahui bagaimana etika konsumsi dalam Ekonomi Islam
5.      Untuk mengetahui bagaimana perilaku konsumen dalam Ekonomi Islam
6.      Untuk mengetahui bagaimana prinsip dasar perilaku konsumen dalam Islam
7.      Untuk mengetahui bagaimana batasan konsumsi dalam syariah Islam















DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.4     Latar Belakang...............................................................................................................2
1.5     Rumusan Masalah..........................................................................................................2
1.6     Tujuan Penulisan............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB II ISI..................................................................................................................................4
2.1     Teori Konsumsi Konvensional.......................................................................................4
2.2     Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkan Konsumsi.................................................4
2.3      Konsumsi dalam Ekonomi Islam...................................................................................8
2.4      Etika Konsumsi dalam Ekonomi Islam........................................................................11
2.5      Perilaku Konsumen dalam Ekonomi Islam..................................................................13
2.6      Prinsip Dasar Perilaku Konsumen Islami.....................................................................16
2.7      Batasan Konsumsi dalam Syariah................................................................................19
BAB III PENUTUP..................................................................................................................20
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................20
3.2 Saran..............................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................21

















BAB II
ISI

2.1  Teori Konsumsi Konvensional
Konsumsi merupakan kegiatan menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Konsumsi adalah semua penggunaan barang dan jasa yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Barang dan jasa yang digunakan dalam proses produksi tidak termasuk konsumsi, karena barang dan jasa itu tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Barang dan jasa dalam proses produksi ini digunakan untuk memproduksi barang lain.
 Tindakan konsumsi dilakukan setiap hari oleh siapapun, tujuannya adalah untuk memperoleh kepuasan setinggi-tingginya dan mencapai tingkat kemakmuran dalam arti terpenuhi berbagai macam kebutuhan, baik kebutuhan pokok maupun sekunder, barang mewah maupun kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Tingkat konsumsi memberikan gambaran tingkat kemakmuran seseorang atau masyarakat. Adapun pengertian kemakmuran disini adalah semakin tinggi tingkat konsumsi seseorang maka semakin makmur, sebaliknya semakin rendah tingkat konsumsi seseorang berarti semakin miskin.
Konsumsi secara umum diartikan sebagai penggunaan barang-barang dan jasa yang secara langsung akan memenuhi kebutuhan manusia. Untuk dapat mengkonsumsi, seseorang harus mempunyai pendapatan, besar kecilnya pendapatan seseorang sangat menentukan tingkat konsumsinya.
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkan Konsumsi
1.      Faktor Ekonomi
a.       Pendapatan Rumah Tangga (Household Income)
Pendapatan rumah tangga amat besar pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi. Biasanya makin tinggi tingkat pendapatan, makin tinggi pula tingkat konsumsi. Karena ketika tingkat pendapatan meningkat, kemampuan rumah tangga untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi menjadi semakin besar. Atau mungkin juga pola hidup menjadi semakin konsumtif, setidak-tidaknya semakin menuntut kualitas yang lebih baik
b.      Kekayaan Rumah Tangga (Household Wealth)
Tercakup dalam pengertian kekayaan rumah tangga adalah kekayaan riil (rumah, tanah dan mobil) dan finansial (deposito berjangka, saham dan surat-surat berharga). Kekayaan-kekayaan tersebut dapat meningkatkan konsumsi, karena menambah pendapatan disposabel. Misalnya, bunga deposito yang diterima tiap bulan dan deviden yang diterima setiap tahun menambah pendapatan rumah tangga. Demikian juga dengan rumah, tanah dan mobil yang disewakan. Penghasilan-penghasilan tadi disebut sebagai penghasilan non upah. Sebagian dari tambahan penghasilan tersebut akan dipakai sebagai konsumsi dan tentunya hal ini akan meningkatkan pengeluaran konsumsi.
c.       Jumlah Barang-Barang Konsumsi Tahan Lama dalam Masyarakat.
Pengeluaran konsumsi masyarakat juga dipengaruhi oleh jumlah barang-barang konsumsi tahan lama (Consumers Durables). Pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi bisa bersifat positif dan negatif. Barang-barang yang tahan lama biasanya harganya mahal, yang untuk memperolehnya dibutuhkan waktu untuk menabung. Apabila membelinya secara tunai, maka sebelum membeli harus banyak menabung (konsumsi berkurang). Namun apabila membelinya dengan cara kredit, maka masa untuk menghemat adalah sesudah pembelian barang.
d.      Tingkat Bunga (Interest Rate)
Tingkat bunga yang tinggi dapat mengurangi/mengerem keinginan konsumsi, baik dilihat dari sisi keluarga yang memiliki kelebihan uang maupun yang kekurangan uang. Dengan tingkat bunga yang tinggi, maka biaya ekonomi (opportunity cost) dari kegiatan konsumsi akan semakin mahal. Bagi mereka yang ingin mengkonsumsi dengan berhutang dahulu, misalnya dengan meminjam dari bank atau menggunakan fasilitas kartu kredit, biaya bunga semakin mahal, sehingga lebih baik menunda/mengurangi konsumsi. Sama halnya dengan mereka yang memiliki banyak uang. Tingkat bunga yang tinggi menyebabkan menyimpan uang di bank terasa lebih menguntungkan ketimbang dihabiskan untuk konsumsi. Jika tingkat bunga rendah, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Bagi keluarga kaya, menyimpan uang di bank menyebabkan ongkos menunda konsumsi terasa lebih besar. Sementara bagi keluarga yang kurang mampu, biaya meminjam yang menjadi lebih rendah akan meningkatkan keberanian dan gairah konsumsi
e.       Perkiraan Tentang Masa Depan (Household Expectation about The Future)
Jika rumah tangga memperkirakan masa depannya makin baik, mereka akan merasa lebih leluasa untuk melakukan konsumsi. Karenanya pengeluaran konsumsi cenderung meningkat. Jika rumah tangga memperkirakan masa depannya makin jelek, mereka pun mengambil ancang-ancang dengan menekan pengeluaran konsumsi.
f.        Kebijakan Pemerintah Mengurangi Ketimpangan Distribusi Pendapatan
MPC pada kelompok masyarakat berpendapatan tinggi lebih rendah dibanding MPC pada kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah. Keinginan pemerintah untuk mengurangi ketimpangan dalam distribusi pendapatan ternyata akan menyebabkan bertambahnya pengeluaran konsumsi masyarakat secara keseluruhan. Misalnya, Rp.100 juta yang ditarik oleh pemerintah dalam bentuk pajak dari kelompok masyarakat berpendapatan tinggi (dengan MPC sebesar 0,65) akan menyebabkan berkurangnya konsumsi mereka sebanyak Rp.65 juta. Namun tambahan pendapatan sebanyak Rp.100 juta itu yang diterima oleh kelompok masyarakat berpendapatan rendah (dalam bentuk transfer payment, subsidi) akan menyebabkan pengeluaran konsumsi mereka bertambah sebanyak Rp.80 juta (karena MPC mereka sebesar 0,8). Dengan demikian tampak bahwa dengan tingkat pendapatan nasional yang sama, besarnya konsumsi masyarakat menjadi lebih besar dibandingkan dengan sebelumnya, karena kebijakan pemerintah melakukan redistribusi pendapatan nasional.
2.      Faktor-Faktor Demografi
a.       Jumlah penduduk
Jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran konsumsi secara menyeluruh, walaupun pengeluaran rata-rata per orang atau per keluarga relatif rendah. Misalnya, walaupun tingkat konsumsi rata-rata penduduk Indonesia lebih rendah daripada penduduk Singapura, tetapi secara absolut tingkat pengeluaran konsumsi Indonesia lebih besar daripada Singapura. Sebab jumlah penduduk Indonesia lima puluh satu kali lipat penduduk Singapura. Tingkat konsumsi rumah tangga akan sangat besar. Pengeluaran konsumsi suatu negara akan sangat besar, bila jumlah penduduk sangat banyak dan pendapatan per kapita sangat tinggi. Hal ini terjadi juga di negara Amerika Serikat dan Jepang. Pengeluaran konsumsi penduduk masing-masing negara tersebut puluhan kali lipat penduduk Indonesia. Sebab jumlah penduduknya hampir sama dengan Indonesia, tetapi pendapatan per kapitanya puluhan kali lipat dari Indonesia.
b.      Komposisi penduduk
Komposisi penduduk suatu negara dapat dilihat dari beberapa klasifikasi, di antaranya usia (produktif dan tidak produktif), pendidikan (rendah, menengah, tinggi), dan wilayah tinggal (perkotaan dan pedesaan). Pengaruh komposisi penduduk terhadap tingkat konsumsi yaitu:
·         Makin banyak penduduk yang berusia kerja atau usia produktif (15-64 tahun), makin besar tingkat konsumsi, terutama bila sebagian besar dari mereka mendapat kesempatan kerja yang tinggi, dengan upah yang wajar atau baik. Sebab makin banyak penduduk yang bekerja, penghasilan juga makin besar
·         Makin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, tingkat konsumsinya juga makin tinggi. Sebab pada saat seseorang/suatu keluarga makin berpendidikan tinggi, kebutuhan hidupnya makin banyak. Yang harus mereka penuhi bukan lagi sekedar kebutuhan untuk makan dan minum, melainkan juga kebutuhan informasi, pergaulan masyarakat yang lebih baik serta kebutuhan akan pengakuan orang lain terhadap keberadaannya (eksistensinya). Seringkali biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan ini jauh lebih besar daripada biaya pemenuhan kebutuhan untuk makan dan minum.
·         Makin banyak penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan (urban), pengeluaran konsumsi juga makin tinggi. Sebab umumnya pola hidup masyarakat perkotaan lebih konsumtif dibanding masyarakat pedesaan


3.      Faktor Non-Ekonomi
Faktor-faktor non ekonomi yang paling berpengaruh terhadap besarnya konsumsi adalah faktor sosial-budaya masyarakat. Misalnya saja, berubahnya pola kebiasaan makan, perubahan etika dan tata nilai karena ingin meniru kelompok masyarakat lain yang dianggap lebih hebat. Contoh paling konkret di Indonesia adalah berubahnya kebiasaan berbelanja dari pasar tradisional ke pasar swalayan. Begitu juga kebiasaan makan, dari makan masakan yang disediakan ibu di rumah menjadi kebiasaan makan di restoran atau pusat-pusat jajanan yang menyediakan makanan cepat saji (fast food). Demikian juga, rumah bukan hanya sekedar tempat berlindung dari panas dan hujan melainkan ekspresi dari keberadaan diri. Tidak mengherankan bila ada rumah tangga yang mengeluarkan uang ratusan juta, bahkan miliaran rupiah, hanya untuk membeli rumah idaman.
Dalam dunia nyata, sulit memilah-milah faktor apa yang mempengaruhi apa, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan /peningkatan konsumsi. Sebab ketiga faktor diatas saling terkait erat dan saling memengaruhi. Karena itu, bisa saja terjadi dalam kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah yang memaksakan untuk membeli barang-barang dan jasa yang sebenarnya tidak sesuai dengan kemampuannya. Sikap tersebut mungkin akibat pengaruh dari kehidupan kelompok kaya yang mereka tonton dalam sinetron di televisi.
2.3 Konsumsi dalam Ekonomi Islam
Prinsip ekonomi dalam Islam yang disyariatkan adalah agar tidak hidup bermewah-mewah, tidak berusaha pada kerja-kerja yang dilarang, membayar zakat dan menjauhi riba, merupakan rangkuman dari akidah, akhlak dan syariat Islam yang menjadi rujukan dalam pengembangan sistem ekonomi Islam. Nilai-nilai moral tidak hanya bertumpu pada aktifitas individu tapi juga pada interaksi secara kolektif, bahkan keterkaitan antara individu dan kolektif tidak bisa didikotomikan. Individu dan kolektif menjadi keniscayaan nilai yang harus selalu hadir dalam pengembangan sistem, terlebih lagi ada kecenderungan nilai moral dan praktek yang mendahulukan kepentingan kolektif dibandingkan kepentingan individual.
Preferensi ekonomi baik individu dan kolektif dari ekonomi Islam akhirnya memiliki karakternya sendiri dengan bentuk aktifitasnya yang khas. Dan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam, ada tiga aspek adalah sebagai berikut; ketauhidan, khilafah dan Keadilan. Tiga prinsip tersebut tidak bisa dipisahkan, dikarenakan saling berkaitan untuk terciptanya perekonomian yang baik dan stabil. Dalam pendekatan ekonomi Islam, konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah penawaran atau penyediaan. Perbedaan ilmu ekonomi konvensional dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi konvensional.
Islam adalah agama yang ajarannya mengatur segenap perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula dalam masalah konsumsi, Islam mengatur bagaimana manusia dapat melakukan kegiatankegiatan konsumsi yang membawa manusia berguna bagi kemaslahatan hidupnya. Seluruh aturan Islam mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah ini akan membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya. Syari’at Islam menginginkan manusia mencapai dan memelihara kesejahteraannya. Imam Shatibi menggunakan istilah maslahah, yang maknanya lebih luas dari sekedar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional.  Maslahah merupakan sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan-tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini.
Menurut Imam Al-Ghazali mengatakan ada lima kebutuhan dasar yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan kesejahteraan masyarakat tergantung pada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan, yaitu:
a.       Kehidupan atau jiwa (al nafs), 
b.      Properti atau harta (al-maal), 
c.       Keyakinan (al-diin),
d.      Intelektual (al-aql),
e.       Keluarga atau keturunan (al-nasl).
Untuk menjaga kontinuitas kehidupan, maka manusia harus memelihara keturunannya (al-nasl/posterity). Meskipun seorang muslim meyakini bahwa horizon waktu kehidupan tidak hanya menyangkut kehidupan dunia melainkan hingga akhirat, tetapi kelangsungan kehidupan dunia amatlah penting. Kita harus berorientasi jangka panjang dalam merencanakan kehidupan dunia, tentu saja dengan tetap berfokus kepada kehidupan akhirat. Oleh karenanya, kelangsungan keturunan dan keberlanjutan dari generasi ke generasi harus diperhatikan. Ini merupakan suatu kebutuhan yang amat penting bagi eksistensi manusia.
Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut pada setiap individu, itulah yang disebut dengan maslahah. Aktivitas ekonomi meliputi produksi, konsumsi dan pertukaran yang menyangkut maslahah tersebut harus dikerjakan sebagai religious duty atau ibadah.  Tujuannya bukan hanya kepuasan di dunia saja tetapi juga kesejahteraan diakhirat (falaah). Semua aktivitas tersebut memiliki maslahah bagi umat manusia disebut, needs (kebutuhan), dan semua kebutuhan itu harus terpenuhi. Mencukupi kebutuhan dan bukan     memenuhi butuhan/keinginan adalah tujuan dari aktivitas ekonomi Islam, dan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam beragama.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa tujuan konsumsi seorang muslim bukanlah mencari utility, melainkan mencari maslahah. Antara konsep utility dan maslahah sangat berbeda dan bertolak. Menurut Hendri Anto ada empat hal yang membedakan antara utility dan maslahah.
1.      Maslahah relatif objektif karena bertolak pada pemenuhan need, karena need ditentukan berdasarkan pertimbangan rasional normatif dan positif. Sedangkan dalam utilitas orang mendasarkan pada kriteria yang bersifat subjektif karenanya dapat berbeda diantara orang satu dengan orang lain.
2.      Maslahah individual akan relatif konsisten dengan maslahah sosial, sementara utilitas individu sangat mungkin berbeda dengan utilitas sosial. Hal ini terjadai karena dasar penentuannya yaang lebih objektif sehingga lebih mudah dibandingkan, dianalisis dan disesuaikan antara satu orang dengan orang lain, antara individu dan sosial.
3.      Jika maslahah dijadikan tujuan dari seluruh pelaku ekonomi yaitu produsen, konsumen dan distributor, maka arah pembangunan ekonomi akan menuju pada titik yang sama yaitu peningkatan kesejahteraan hidup ini akan berbeda dengan utilitas, dimana konsumen akan mengukurnya dari pemenuhan want-nya, sementara produsen dan distributor yang mengukur dengan mengedepankan keuntungan yang diperolehnya.
4.      Maslahah merupakan konsep yang lebih terukur (accountable) dan dapat diperbandingkan (comparable) sehingga lebih mudah disusun prioritas dan pentahapan dalam pemenuhannya. Hal ini akan mempermudah perencanaan alokasi anggaran serta pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Sebaliknya, untuk mengukur tingkat utilitas dan membandingkannya antara satu orang dengan orang lain tidaklah mudah karena bersifat relatif.
Sementara itu, Hendrianto menyebutkan dalam bukunya al-Ghazali berpendapat bahwa maslahah dari sesuatu itu harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu:
a.       Jelas dan faktual (objektif, terukur dan nyata) 
b.      Bersifat produktif
c.       Tidak menimbulkan konflik keuntungan diantara swasta dan pemerintah
d.      Tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
2.4 Etika Konsumsi dalam Ekonomi Islam
Sementara dalam Islam ada beberapa etika ketika seorang muslim berkonsumsi :
1.      Prinsip Keadilan
Berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kedzaliman, harus berada dalam koridor aturan atau hukum agama serta menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan. Islam memiliki berbagai ketentuan tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah:173

                                                 .

Artinya: 
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S al-Baqarah:173)
2.      Prinsip Kebersihan
Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang dapat merusak fisik dan mental manusia, sementara dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah. Tentu saja benda yang dikonsumsi memiliki manfaat bukan kemubadziran atau bahkan merusak. 


3.      Prinsip Kesederhanaan
Sikap berlebih-lebihan (israaf) sangat dibenci oleh Allah dan merupakan pangkal dari berbagai kerusakan di muka bumi. Sikap berlebihlebihan ini mengandung makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan cenderung memperturutkan hawa nafsu atau sebaliknya terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri sendiri. Islam menghendaki suatu kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi kebutuhan manusia sehingga tercipta pola konsumsi yang efesien dan efektif secara individual maupun sosial. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat al-A’raaf:31

Artinya:
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (Q.S al-A’raaf:31).

4.      Prinsip Kemurahan hati
Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika mengkonsumsi benda-benda ekonomi yang halal yang disediakan Allah karena kemurahan-Nya. Karena Islam adalah agama yang sangat mendukung nilai-nilai sosial, Selama konsumsi ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan dan peran manusia untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT, maka Allah akan memberikan anugerah-Nya bagi manusia. Sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Maidah:
                                                                          

Artinya:
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan (QS. al-Maidah:96).
5.      Prinsip Moralitas
Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus dibingkai oleh moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata-mata memenuhi segala kebutuhan. Sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah:
ۖ

Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. (Q.S al-Baqarah:219)


2.5 Perilaku Konsumen dalam Ekonomi Islam
Perilaku konsumen Islami didasarkan atas rasionalitas yang disempurnakan dan mengintegrasikan keyakinan dan kebenaran yang melampaui rasionalitas manusia yang sangat terbatas berdasarkan Al-quran dan Sunnah. Islam memberikan konsep pemenuhan kebutuhan disertai kekuatan moral, ketiadaan tekanan batin dan adanya keharmonisan hubungan antar sesama. Ekonomi Islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah SWT.
Ada beberapa karakteristik konsumsi dalam perspektif ekonomi Islam, di antaranya adalah:
1.        Konsumsi bukanlah aktifitas tanpa batas, melainkan juga terbatasi oleh sifat kehalalan dan keharaman yang telah digariskan oleh syara', sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Maidah ayat 87:


Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. al-Maidah: 87).
2.        Konsumen yang rasional (mustahliik al-aqlani) senantiasa membelanjakan pendapatan pada berbagai jenis barang yang sesuai dengan kebutuhan jasmani maupun rohaninya. Cara seperti ini dapat mengantarkannya pada keseimbangan hidup yang memang menuntut keseimbangan kerja dari seluruh potensi yang ada, mengingat, terdapat sisi lain di luar sisi ekonomi yang juga butuh untuk berkembang. Karakteristik ini didasari atas fiman Allah dalam QS. al-Nisa’ ayat 5: 


Artinya:
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik (Q.S An-Nisa’:5).
Islam sangat memberikan penekanan tentang cara membelanjakan harta, dalam Islam sangat dianjurkan untuk menjaga harta dengan hatihati termasuk menjaga nafsu supaya tidak terlalu berlebihan dalam menggunakan. Rasionalnya konsumen akan memuaskan konsumsinya sesuai dengan kemampuan barang dan jasa yang dikonsumsi serta kemampuan konsumen untuk mendapatkan barang dan jasa tersebut. Dengan demikian kepuasan dan prilaku konsumen dipengaruhi oleh hal-hak sebagai berikut:
a)        Nilai guna (utility) barang dan jasa yang dikonsumsi. Kemampuan barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen.
b)        Kemampuan konsumen untuk mendapatkan barang dan jasa. Daya beli dari income konsumen dan ketersediaan barang dipasar.
c)        Kecenderungan Konsumen dalam menentukan pilihan konsumsi menyangkut pengalaman masa lalu, budaya, selera, serta nilai-nilai yang dianut seperti agama dan adat istiadat. 
3.        Menjaga keseimbangan konsumsi dengan bergerak antara ambang batas bawah dan ambang batas atas dari ruang gerak konsumsi yang diperbolehkan dalam ekonomi Islam (mustawaa al-kifaayah). Mustawaa alkifaayah adalah ukuran, batas maupun ruang gerak yang tersedia bagi konsumen muslim untuk menjalankan aktifitas konsumsi. Dibawah mustawa kifayah, seseorang akan masuk pada kebakhilan, kekikiran, kelaparan hingga berujung pada kematian. Sedangkan di atas mustawa alkifaayah seseorang akan terjerumus pada tingkat yang berlebih-lebihan (mustawaa israaf, tabdzir dan taraaf). Kedua tingkatan ini dilarang di dalam Islam.
4.        Memperhatikan prioritas konsumsi antara dharuriyat, hajiyat dan takmiliyat. Dharuriyat adalah komoditas yang mampu memenuhi kebutuhan paling mendasar konsumen muslim, yaitu, menjaga keberlangsungan agama (hifz al-diin), jiwa (hifz al-nafs), keturunan (hifz al-nasl), hak kepemilikan dan kekayaan (hifz al-maal), serta akal pikiran (hifz al-‘aql). Sedangkan hajiyat adalah komoditas yang dapat menghilangkan kesulitan dan juga relatif berbeda antara satu orang dengan yang lainnya, seperti luasnya tempat tinggal, baiknya kendaraan dan sebagainya. Sedangkan takmiliyat adalah komoditi pelengkap yang dalam penggunaannya tidak boleh melebihi dua prioritas konsumsi diatas. 

2.6 Prinsip Dasar Perilaku Konsumen Islami
Ekonomi Islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah Swt. Prinsip dasar perilaku konsumen Islami diantaranya:
1.      Prinsip syariah; yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari: (a) Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan untuk beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk dan khalifah yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh Pencipta. (b) Prinsip ilmu, yaitu seseorang ketika akan mengkonsumsi harus mengetahui ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya. (c) Prinsip ‘amaliyah, sebagai konsekuensi aqidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi Islami tersebut, seseorang dituntut untuk menjalankan apa yang sudah diketahui, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang haram dan syubhat.
2.      Prinsip kuantitas; yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam syariat Islam. Salah satu bentuk prinsip kuantitas ini adalah kesederhanaan, yaitu mengkonsumsi secara proporsional tanpa menghamburkan harta, bermewah-mewah, mubadzir, namun tidak juga pelit. Menyesuaikan antara pemasukan dan pengeluaran juga merupakan perwujudan prinsip kuantitas dalam konsumsi. Artinya, dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang. Selain itu, bentuk prinsip kuantitas lainnya adalah menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri.
3.      Prinsip prioritas; yaitu memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu: (1) primer, adalah konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok; (2) sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik, jika tidak terpenuhi maka manusia akan mengalami kesusahan; (3) tersier, yaitu konsumsi pelengkap manusia.
4.      Prinsip sosial; yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya: (1) kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sehingga Islam   mewajibkan zakat bagi yang mampu juga menganjurkan shadaqah, infaq dan wakaf; (2) keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi  baik dalam keluarga atau masyarakat; dan (3) tidak membahayakan/merugikan dirinya sendiri dan orang lain dalam mengkonsumsi sehingga tidak menimbulkan kemudharatan seperti mabukmabukan, merokok, dan sebagainya.
Keseimbangan konsumsi dalam ekonomi Islam didasarkan pada prinsip keadilan distribusi. Dalam ekonomi Islam kepuasan konsumsi seorang Muslim bergantung pada nilai-nilai agama yang diterapkan pada rutinitas kegiatannya, tercermin pada alokasi uang yang dibelanjakannya. Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia. Keimanan sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan material maupun spiritual.
Batasan konsumsi dalam Islam tidak hanya memperhatikan aspek halal-haram saja tetapi termasuk pula yang diperhatikan adalah yang baik, cocok, bersih, tidak menjijikan. Larangan isyraaf dan larangan bermegahmegahan. Begitu pula batasan konsumsi dalam syari’at Islam tidak hanya berlaku pada makanan dan minuman saja, tetapi juga mencakup jenis-jenis komoditi lainnya. Pelarangan atau pengharaman konsumsi untuk suatu komoditi bukan tanpa sebab. Pengharaman untuk komoditi karena zatnya karena antara lain memiliki kaitan langsung dalam membahayakan moral dan spiritual.
Konsumsi dalam Islam tidak hanya untuk materi saja tetapi juga termasuk konsumsi sosial yang terbentuk dalam zakat dan shodaqoh. Dalam al-Qur’an dan hadits disebutkan bahwa pengeluaran zakat dan shodaqoh mendapat kedudukan penting dalam Islam. Sebab hal ini dapat memperkuat sendi-sendi sosial masyarakat seperti zakat dan shadaqoh.
Para pakar maqasid telah memetakan maqasid syariah menjadi beberapa bagian, Imam Syatibi membedakan maslahah menjadi tiga bagian:
1.      Kebutuhan Dharuriyat (Primer)
Kebutuhan Dharuri atau primer ialah kemaslahatan yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia. Jika dia luput dari kehidupan manusia maka mengakibatkan rusaknya tatanan kehidupan manusia tersebut. Maslahat dharuriyat ini merupakan dasar asasi untuk terjaminnya kelangsungan hidup manusia. Jika ia rusak maka akan muncul fitnah dan bencana yang besar.
Adapun yang termasuk dalam lingkup maslahah dharuriyat ini ada lima macam, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Umumnya ulama ushul fiqh sependapat tentang lima hal tersebut sebagai maslahat yang paling asasi.
Secara umum, menghindari setiap perbuatan yang mengakibatkan tidak terpeliharanya salah satu dari kelima hal pokok (maslahat) tersebut, tergolong dharury (prinsip). Syariat Islam sangat menekankan pemeliharaan hal tersebut, sehingga demi mempertahankan nyawa (kehidupan) dibolehkan makan barang terlarang (haram), bahkan diwajibkan sepanjang tidak merugikan orang lain. Karena itu bagi orang dalam keadaan darurat yang khawatir akan mati kelaparan, diwajibkan memakan bangkai, daging babi dan minum arak.
2.      Kebutuhan hajjiyat (Sekunder)
Kebutuhan hajjiyat atau sekunder adalah segala sesuatu yang oleh hukum syara’ tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok tadi, akan tetapi dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan, kesusahan, kesempitan dan ihtiyath (berhati-hati) terhadap lima hal pokok tersebut.
3.      Kebutuhan Tahsiniyat (Tersier) atau Kamaliyat (Pelengkap) 
Kebutuhan tahsiniyaat (tersier) atau kamaliyaat (pelengkap) ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari kelima pokok diatas serta tidak pula menimbulkan kesulitan. Yang dimaksud dengan maslahah jenis ini ialah sifatnya untuk memelihara kebagusan dan kebaikan budi pekerti serta keindahan saja. Sekiranya kemaslahatan tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan tidaklah menimbulkan kesulitan dan kegoncangan serta rusaknya tatanan kehidupan manusia. Dengan kata lain kemaslahatan ini hanya mengacu pada keindahan saja. Sungguhpun demikian kemaslahatan seperti ini dibutuhkan oleh manusia.
2.7 Batasan Konsumsi dalam Syariah
Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia. Keimanan sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan material maupun spiritual.
Batasan konsumsi dalam Islam tidak hanya memperhatikan aspek halal-haram saja tetapi termasuk pula yang diperhatikan adalah yang baik, cocok, bersih, tidak menjijikan, larangan israf dan larangan bermegahmegahan. Karena Perhitungan antara pendapatan, konsumsi dan simpanan sebaiknya ditetapkan atas dasar keadilan sehingga tidak melampaui batas dengan terjebak pada sifat boros (tabzir) maupun kikir (bakhil), sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat ar-Rahman (55) ayat 7-9:
Artinya :
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu (Q.S ar-Rahman (55): 7-9).
Adapun yang dimaksud dengan peneracaan adalah sesuatu yang berkaitan dengan keadilan. Jika dikaitkan dengan pengeluaran konsumsi maka maksud dan tujuan dari peneracaan adalah adanya keharusan untuk menjaga keseimbangan antara pendapatan dan konsumsi dalam periode tertentu.
Begitu pula batasan konsumsi dalam syari’ah tidak hanya berlaku pada makanan dan minuman saja. Tetapi juga mencakup jenis-jenis komoditi lainnya. Pelarangan atau pengharaman konsumsi untuk suatu komoditi bukan tanpa sebab. Pengharaman untuk komoditi karena zatnya dikarenakan memiliki keterkaitan langsung yang dapat membahayakan terhadap fisik, moral maupun spiritual, serta keharaman yang disebabkan karena menggunakan cara yang bathil untuk mendapatkannya yang dapat membahayakan dirinya dan merugikan orang lain.
Meskipun demikian ajaran Islam tidak melarang manusia untuk memenuhi kebutuhan ataupun keinginannya, selama dengan pemenuhan tersebut dapat mengangkat martabat manusia dan tidak melampaui batas kewajaran. Semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk kepentingan manusia, namun manusia diperintahkan mengkonsumsi barang/jasa yang halal dan baik secara wajar, tidak berlebihan. 


















BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Konsumsi secara umum diartikan sebagai penggunaan barang-barang dan jasa yang secara langsung akan memenuhi kebutuhan manusia. Tindakan konsumsi dilakukan setiap hari oleh siapapun, tujuannya adalah untuk memperoleh kepuasan setinggi-tingginya dan mencapai tingkat kemakmuran dalam arti terpenuhi berbagai macam kebutuhan, baik kebutuhan pokok maupun sekunder, barang mewah maupun kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani.
Dalam perspektif Islam, konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah penawaran atau penyediaan. Perbedaan ilmu ekonomi konvensional dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi konvensional. Seluruh aturan Islam mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah ini akan membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya. Syari’at Islam menginginkan manusia mencapai dan memelihara kesejahteraannya. Imam Shatibi menggunakan istilah maslahah, yang maknanya lebih luas dari sekedar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional.
3.2  Saran
Sebagai seorang muslim sebaiknya kita benar-benar memperhatikan segala aspek dalam konsumsi yang sudah diatur dalam Al-Quran dan As-Sunnah mengingat kegiatan konsumsi adalah kegiatan yang kita lakukan setiap hari. Jangan sampai kegiatan yang seharusnya dapat menbuahkan pahala ini malah berfungsi sebaliknya.



DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta: Rajawali Pres. 2011)
Afzalur al Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,  1995)Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Hendri Anto, Pengantar Ekonomi Mikro Islami. (Yogyakarta : Ekonisia 2003)
M.A. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997)
Michael James, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, (Jakarta: Ghalia, 2001)
Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: BPFE, 2004)
Muhammad Muflih, Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006)
Prathama Rahardja & Mandala Manurung, Teori Ekonomi Makro
Todaro, Ekonomi dalam Pandangan Modern. Terj. (Jakarta: Bina Aksara, 2002)
Umer Chapra , Masa Depan Ilmu Ekonomi, ( Jakarta: Gema Insani Press, 2001)






Comments

Popular posts from this blog

PT. INDOFOOD CBP SUKSES MAKMUR Tbk (MANAJEMEN MARKETING)

PT. Indofood CBP Sukses Makmur Tbk A. Latar Belakang Dalam dunia bisnis yang berjalan di Indonesia, siapa yang tidak mengenal kedikdayaan PT. Indofood. PT. Indofood merupakan produsen berbagai jenis makanan dan minuman yang bermarkas di Jakarta. Perusahaan ini muncul dengan berbagai produk makanan dan minuman yang merupakan merek yang sering kita pakai dalam kehidupan kita sehari-hari. Tak hanya itu PT. Indofood yang didirikan pada tahun 1990 tetap bisa bertahan sebagai pemuncak pasar konsumen di Indonesia. Hal ini menjadi menarik bagi kami mahasiswa yang sedang memperdalam studi di bidang manajemen lebih khusus dalam mata kuliah bisnis internasional untuk mengetahui bagaimana strategi PT. Indofood untuk terus bisa mempertahankan posisi di puncak pasar konsumen, bahkan PT. Indofood juga telah berhasil melebarkan sayapnya sampai ke Australia, Asia dan Eropa. B. Bisnis Internasional Bisnis internasional merupakan kegiatan bisnis yang dilakukan antara Negara yang satu dengan N

QUR'AN HADIST MANAJEMEN (PRODUKSI SYARIAH)

BAB I PENDAHULUAN A.                 LATAR BELAKANG Produksi dalam istilah konvensional adalah mengubah sumber-sumber dasar kedalam barng jadi, atau proses dimana input diolah menjadi output. Islam mendorong umatnya untuk berproduksi dan menekuni aktivitas ekonomi dalam segala bentuknya seperti pertanian, peternakan, perburuan, industri perdagangaan dan sebagainya. Islam memandang setip amal perbuatan yang menghasilkan benda atau pelayanan yang bermanfaat bagi manusia atau yang mempermudah kehidupan mereka dan menjadikannya lebih makmur dan sejahtera. Islam memberi nilai tambah sebagai amal ibadah kepada Allah SWT dan dianggap sebagai perjuangan di jalan-Nya.   Dengan bekerja setiap individu dapat memenuhi hajat hidup dirinya, hajat hidup keluarganya, berbuat baik kepada kerabatnya, bahkan dapat memberikan pertolongan kepada masyarakat disekitarnya. Hal ini merupakan keutamaan-keutamaan yang dihargai oleh agama dan tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan harta. Sementara itu,

CONTOH PEMASARAN JASA (PEMASARAN JASA)

IBX58B2D2281507E BAB I Karakteristik dan Klasifikasi Jasa Penyewaan Alat Outdoor Karakteristik Jasa Penyewaan Alat Outdoor Jasa Penyewaan Alat Outdoor merupakan jasa yang sifatnya tidak berwujud akan tetapi jasa tersebut dapat dirasakan manfaatnya oleh konsumen. Hanya saja perusahaan tersebut harus memberi kenyamanan pada pelanggan dengan tambhan fasilitas yang bisa member atau tambahan kenyamanan konsumen. Jasa Penyewaan Alat Outdoor tersebut merupakan jasa yang sifatnya tidak dapat terpisahkan . pelanggan memnbeli jasa kemudian dikonsumsi secara langsung tanpa ada barang atau produk yang merika terima, hanya saja memperoleh manfaat. Dilihat dari bentuk keanekaragamnnya, jasa Penyewaan Alat Outdoor mempunyai bentuk pelayanan yang sangat beraneka ragam. Hal ini dibuat karena karena menyesuaikan dan melayani permintaan pelanggan yang kita hadapi. Kemudian karakteristik Penyewaan Alat Outdoor yang terakhir adalah tidak tahan lama, setelah mereka menikmati jasa yang konsumen b